SEBUAH MEMORI DALAM SELUAS INGATAN chapter 2

TRAGEDI “BUKA KASUT !”
Siang itu, kami tiba di bandara Kuala Lumpur,
Malaysia. Kami masih sangat antusias sesaat setelah melihat-lihat negara itu
dari ketinggian. Di sana, seorang staf personalia bernama puan Jarina menyambut
kami dengan sikap yang tidak terlalu ramah. Kami disuruh cepat-cepat berjalan
dan menuju lobi untuk keluar dari bandara. Sampai disana kami disuruh antri dan
menunggu sambil berjongkok. Satu persatu dari kami melakukan scan sidik jari.
Masih terngiang ditelingaku saat kami berjalan sedikit lambat karena memang
berdesakan saat itu.
“Laju lah sikit ! jalan macam lembu !” Teriak ibu
staf itu. Kami yang memang belum banyak mengerti bahasa melayu, hanya menangkap bahwa dia
sedang kesal pada kami.
Saat sedang antri scan sidik jari. Salah seorang
kawan bernama Ai Astuti pun ikut kena semprot oleh ibu staf yang menjemput kami itu
karena kuku jarinya yang panjang.
“Ini budak ! kuku panjang macam setan la !”
bentaknya.
Kami hanya bengong dan saling menatap satu sama lain
saat itu. Setengah heran dan tak mengerti, sikap apa yang kami dapatkan saat
baru sampai di negara jiran ini, dan setengah perasaan kesal karena kami seolah
manusia rendah yang tak layak dihargai.
Setelah semua selesai, sebuah bis pariwisata
menjemput kami, perjalanan kami lanjutkan untuk menuju asrama, atau tempat
tinggal kami selama bekerja disana, diluar dugaanku yang mengira bahwa kami
akan berada dekat dari Kuala Lumpur, ternyata kami dibawa lumayan jauh dari
bandara, hingga perjalanan memakan waktu sekitar enam jam menuju Ipoh.
Akhirnya,, sampailah kami disebuah asrama bernama
asrama khantan yang letaknya menurutku jauh dari peradaban. Disekitar asrama ini hanya
terdapat pabrik kayu dan bukit. Asrama ini terdiri dari beberapa gedung, dan
setiap gedung memiliki empat lantai, satu lantai terdiri dari dua lorong, dan
satu lorong terdiri dari delapan kamar, tak berhenti disitu, ternyata satu
kamar terdiri dari enam tempat tidur yang artinya kami akan berada dikamar yang
sama dengan lima orang lain.
Aku, Nur, dan Meli ditempatkan dikamar yang berbeda.
Meli dan Nur ditempatkan dikamar yang lima penghuni lainnya adalah orang lama,
sedangkan aku sendiri berada dikamar dengan penghuni baru yang datang
bersamaku.
Keesokan harinya, setelah beristirahat, kami pun mulai
disuruh untuk datang ke pabrik perusahaan elektronik itu, untuk melakukan
training selama seminggu penuh. Disana terdapat tiga shift yang akan bergantian
bekerja selama duapuluh empat jam. Ada shift Q,R, dan S. Aku yang sudah mulai
dekat dengan kawan sekamarku mengira bahwa mungkin akan satu shift dengan
mereka. Tanpa kuduga, aku justru malah satu shift dengan Meli dan Nur. Meskipun
kawan satu kamarku pun ada yang satu shift denganku, rupanya aku juga satu
departemen dengan Meli dan Nur. Itu membuatku harus lebih sering bekerjasama
dengan mereka.
Waktu terus berlalu, siang berganti malam dan begitu
seterusnya. Tak terasa sudah sebulan aku menjalani kehidupan sebagai seorang
perantau. Perlahan, sedikit demi sedikit, aku mulai dekat dengan Meli dan Nur,
saat ada waktu luang kami selalu bersama dan saling bercerita satu sama lain
tentang kehidupan kami sebelum kami bertemu.
Meli lahir pada bulan Januari 1995, dia memiliki
kulit putih bersih, ujung matanya sedikit sipit, hidung mancung, rambut
keriting, dan yang khas darinya yang kusukai adalah jari-jari tangannya yang
lentik. Ia termasuk orang yang mudah khawatir, plin-plan, ribet, dan tukang
ngaret atau terlambat. Namun, dibalik itu semua dia juga penyayang dan sangat
rapi saat melakukan sebuah pekerjaan.
Meli adalah pendengar setia bagi semua
kisah kawan disekelilingnya. Dia termasuk orang yang berideologi bahwa segala
hal harus dipandang dari berbagai sudut yang berbeda, terkadang dia sangat suka
bercanda hingga kami tertawa terpingkal-pingkal. Meli sangat suka dengan
kosmetik yang berbau herbal dan alami, ia sangat pemilih jika itu tentang baju
atau kosmetik, dan satu lagi hal yang sangat melekat pada dirinya adalah kata “diet”.
Meli berasal dari Rajamandala, perbatasan Cianjur
dan Bandung. Ia merupakan anak ke tiga dari empat bersaudara, ia memiliki dua
kakak laki-laki dan satu adik perempuan yang usianya tidak terlalu jauh.
Sedangkan, Nur lahir di bulan November 1995, Nur
memiliki perawakan tinggi, kulit kuning langsat, mata yang cukup bulat, rambut lurus
sedikit ikal dan lembut, bibir sedikit tebal dan tubuh yang tegap dan langsing.
Nur kadang tidak banyak bicara saat kami betiga sedang bersama, kadang
sekalinya bicara malah tidak nyambung atau bikin kaget aku dan meli. Dia sosok
yang menurut kami keibuan, tidak banyak mengeluh saat aku dan meli malah sering
merengek lelah setelah bekerja. Nur juga tidak terlalu terbuka masalah kisah hidupnya.
Nur berasal dari Cianjur Selatan, ia juga memiliki
beberapa kakak laki-laki dan dua adik, satu perempuan dan satu laki-laki.
Berbeda dari mereka, aku justru kakak pertama dari tiga
orang adik. Perawakanku juga sangat berbeda dari mereka, aku memiliki warna
kulit yang dua tingkat lebih rendah dibandingkan Meli dan Nur. Sebagian orang
menyebutnya sawo matang, tapi si kampret yang dua ini selalu menyebutnya sawo
busuk. Aku memiliki tubuh mungil, hingga walaupun aku lah yang tertua diantara
Meli dan Nur karena aku lahir di bulan Desember 1994, aku tetap terlihat sama
mudanya dengan mereka.
Aku, Meli, dan Nur memiliki kebiasaan yang mungkin
tidak dilakukan oleh orang lain, saat bersama kami akan lupa dunia dan terus
mengoceh, saat bekerja kami jarang makan makanan yang berat, karena itu akan
membuat kami bertiga mengantuk saat bekerja. Tapi, saat tiba long weekend maka
kami menyebutnya sebagai cikday atau hari makan sepuasnya, jangan cari arti
cikday dalam kamus bahasa inggris karena tidak akan ada, istilah itu kami
rekayasa sendiri.
Suatu hari saat kami mendapat shift pagi, kami
bertiga sedikit kesiangan, hingga aku tidak sempat sarapan dan Meli lupa membawa
handphonenya. Diperjalanan menuju tempat kerja Meli memakai handphoneku untuk
mendengarkan lagu, waktu pun terus berjalan.
Waktu menunjukan pukul 11.00 hari itu, dan banyak
masalah yang kualami ditempat kerja bagianku, mulai dari omelan staf office
yang hanya datang saat shift siang, produk yang gagal, bahkan mesin yang eror
beberapa kali membuatku semakin pusing, ditambah aku merasa sangat lapar karena
belum sarapan.
Tiba-tiba Meli datang dengan wajah cemas.
“Teh Al, maafin Mel yah” katanya berbisik
ditelingaku.
“Kenapa tiba-tiba minta maaf mel?” tanyaku yang
masih sibuk dengan mesin yang kukerjakan.
“Teh Al…” gumamnya yang membuatku sedikit risih.
“Iya, kenapa Mel? ada apa? Ngomong aja!” tanyaku.
“Tapi, teh Al jangan marah ya..” kata Meli yang kini
mulai membuatku penasaran.
“Cepetan donk Mel, kamu mau ngomong apa sih ?kamu gaki liat aku sibuk?”
jawabku yang mulai kesal.
“Hp te Al kebawa masuk kesini..” ujarnya yang sukses
membuat jantungku hampir lepas dari tempatnya.
Sudah menjadi peraturan mutlak dan keras, bahwa kami
para karyawan dilarang membawa alat elektronik seperti handphone kedalam area
kerja, dan harus menyimpannya di loker, walaupun seseorang berusaha membawa
handphone kedalam maka, akan terdeteksi oleh mesin detector berupa pintu masuk
dan keluar area kerja seperti dibandara.
“Ih kamu Mel ! kok bisa kebawa sih! Tanggungjawab ah!”
kataku yang kesal.
“Gimana donk teh Al?” tanyanya dengan suara khas
anak kecil yang seperti merengek ke ibunya.
“Bilang ke supervisor sana biar ditoleransi!” ujarku
yang masih sangat sibuk dengan kerjaan tapi Meli masih cemas dan takut.
Saat itu kami masih baru dua bulan bekerja, dan
masih dipenuhi rasa takut saat membuat kesalahan, setelah pergi, beberapa menit
kemudian Meli kembali lagi ke mejaku dan terus merengek bak kucing yang meminta
ikan dan tak dipenuhi. Aku yang sedang pusing, kesal oleh kerjaan akhirnya
terganggu oleh tingkahnya.
“Oke, katakana kenapa bisa terbawa kesini?” tanyaku
tegas.
“Lupa, tadi mau disimpan diloker malah terbawa
disaku” jawabnya dengan wajah yang penuh kecemasan.
Sejenak aku berpikir mencari jalan keluar agar tidak
ketahuan, karena resikonya kami bisa diberi surat peringatan.
Akhirnya aku meminta meli memasukan handphone itu
kedalam kaos kakinya saat istirahat sejam lagi.
“Tapi, bagaimana kalau mesinnya berbunyi? Dan akan
terlihat security ada handphone di kaos kakiku, gimana donk teh Al?” ujarnya
yang sontak membuatku semakin bingung campur kesal.
Ada perasaan ingin meninggalkannya saja dan
membiarkan ia mengurus masalah itu sendiri, tapi itu juga adalah handphoneku
yang kalau disita security akan sulit diambil kembali.
Akhirnya ide gila muncul diotakku dan dengan so berani aku mengambil handphone
itu dari tangan Meli dan memasukannya dibawah sepatuku dan sedikit terinjak oleh kakiku.
“Ayo, kita keluar” ajakku pada Meli.
Meli masih takut dan panik saat hendak melalui pintu
keluar, disana sudah ada dua security wanita yang memang galak luar biasa sejak
kami datang.
Handphone dibawah kaki kananku membuatku berjalan
pincang, itu membuatku berpikir ide gila lagi saat semua orang memperhatikanku.
“kamu kenapa?” Tanya koko asal Myanmar.
“kakiku sakit karena keseleo saat main basket
weekend kemarin” jawabku sekenanya.
Meli hanya tertawa geli mendengar kebohonganku.
“Diam kau ! ini ulahmu!” bentakku padanya.
Kami pun sampai dipintu keluar, security itupun
sudah melihat kearah kakiku yang berjalan pincang, dan saat keluar tentu saja
mesin detector itu berbunyi, kami diberi tiga kesempatan untuk mencoba kembali,
jika sampai tiga kali mesin itu berbunyi, kami akan dicek manual oleh security
langsung.
Aku mulai berkeringat dingin berada dalam situasi ini, Meli sudah duluan
keluar dan menungguku, aku menarik napas panjang dan mencoba untuk kedua
kalinya dan masih berbunyi. Security mulai curiga dengan kakiku yang seolah
berusaha menghindar dari mesin detector.
“Hah ! itu kaki kenapa?” Tanya security dengan mata
tajam mendelik.
“ini..ini sakit laa kak” jawabku terbata-bata. Dan
security pun semakin curiga.
“Buka kasut !!!” teriak security yang sukses
membuatku jadi bahan perhatian, artinya dia menyuruhku membuka sepatu sebelum
mencoba untuk ketiga kalinya keluar.
Aku pura-pura tergesa-gesa dan langsung
mencoba kembali untuk yang terakhir kalinya, tanpa membuka sepatuku, aku sedikit mengangkat kaki
kananku dan membuatnya agak cepat saat melalui pintu itu.
Hal yang tak terduga terjadi, aku yang sudah pasrah
akan ketahuan, terperanjat saat mesin itu sama sekali tidak berbunyi
dikesempatan terakhir itu, dan security membolehkanku pergi. Aku merasakan ada yang patah dari handphoneku
karena tak sengaja ku injak dengan kuat saking tegangnya.
Saat ditempat istirahat, dengan tangan gemetar aku
mengambil handphone dari dalam sepatuku dan bernafas lega, Meli hanya tersenyum
geli melihat tingkah konyolku demi menyelamatkan kami berdua dari hukuman.
Saat tiba waktu masuk, aku yang sudah menyimpan
handphoneku diloker segera masuk dengan Meli. Security tadi hanya melihatku
dengan aneh, saat didalam pun orang-orang tadi memandangku dengan aneh, dan aku mulai merasa heran.
“Eh Mel, apa ada yang aneh denganku? Kok semua orang
mandang aneh gitu ya?" Tanyaku.
Belum sempat Meli menjawab tiba-tiba Koko Myanmar yang
tadi berpapasan denganku bertanya lagi.
“Hei kaki awak dah oke ke?” tanyanya.
Sontak aku dan Meli saling memandang dan tertawa geli,
mengingat aku yang sudah tak berjalan pincang lagi. Mungkin mereka heran kenapa
kakiku bisa sembuh dalam waktu secepat itu. Hahaha :D
To Be Continue…
Note : Hp Legendaris itu masih ada dan hidup hingga saat ini :D
Komentar
Posting Komentar