FIRST LOVE part 1

FIRST LOVE part 1
Hembusan angin lembut menyibak helaian rambut yang terurai bebas, kicauan burung yang
berterbangan tak sedikitpun mengusik telinga yang mulai terbiasa, gemercik air yang membawa perasaan damai dan tenang seolah menjadi harmoni musik alami. Semua hal itu, perlahan
membuat mataku terpejam sejenak, tubuhku yang merebah di atas kursi panjang
diantara pepohonan perlahan terbawa suasana, membawaku terbang jauh, sangat
jauh hingga ke masa dimana suasananya berbanding terbalik dari yang kini
kurasakan, aku ditarik paksa oleh kenangan saat hening ini belum bertepi bersamaku,
waktu membawaku ke sepuluh tahun yang lalu.
Menginjakkan kaki di sebuah ruangan yang begitu riuh,
dengan banyak orang asing bukanlah hal yang menarik untukku. Karena, situasi
selanjutnya akan sama seperti sebelumnya, saat kami mulai mengenal satu sama lain,
kami tahu kelebihan dan kekurangan masing-masing, lalu membentuk hubungan
saling memanfaatkan. Satu hal yang kubenci dari itu semua, akulah yang akan
lebih banyak dimanfaatkan dengan daftar nilai akhir memuaskan saat lulus
sekolah dasar.
Aku mencari tempat duduk yang tidak menarik perhatian,
dua meja dari depan, tiga meja dari belakang, tepat di dekat dinding samping kanan yang berwarna biru tua.
Kulihat disana sudah ada seorang anak perempuan bertubuh besar yang akan menjadi
temanku untuk setahun kedepan.
Tak banyak nama yang kuingat setelah mereka satu
persatu menyebutkan namanya di depan kelas sesaat setelah wali kelas datang.
Dewi, Daryani, Lala, Susi, dan banyak lagi. Apalagi saat anak laki-laki
yang maju ke depan, aku langsung membenamkan kepalaku diatas meja, berhadapan dengan
tembok dingin yang menjadi sahabat pertamaku.
Aku memejamkan mataku bukan karena mengantuk, hanya saja ini sangat
membosankan, urutan yang sama seperti di sekolah sebelmnya akan berakhir pada perpisahan dan saling melupakan. Nama demi nama kuikuti dengan bibir komat-kamitku, hingga aku dengar satu nama yang membuat kepalaku spontan merespon
untuk melihat pemilik nama itu.
“Nama saya Denis Malik Akbar,” ucapnya sambil
memasukkan kedua tangannya ke saku celana tanda ia sedang nervous di hadapan
kami semua.
Tak ada yang kulakukan, aku tidak tertarik mengenal siapapun di
kelas ini. Tapi tunggu, ada yang aneh terjadi padaku, mataku enggan beranjak
darinya seolah ada seseorang yang menahan kepalaku untuk tidak berpaling. jantungku masih berdegup tapi, dengan irama yang tidak biasanya, tanganku memainkan kuku jari seolah dia sedang memperkenalkan dirinya hanya padaku. Beberapa saat hingga ia kembali untuk duduk dikursinya ujung bibirku seakan
ditarik paksa untuk tersenyum. Satu detik, satu menit, lima belas menit. Hingga
semua nama telah menampakkan wajahnya, aku lalu tersadar dan segera mengalihkan
pikiranku pada buku tulis yang masih kosong dan pena baru yang kubeli beberapa
waktu lalu untuk pelajaran pertamaku.
Akhir semester pertama aku mendapat jumlah nilai
terbaik di kelas, dan menjadikanku bintang kelas yang sangat tidak kuharapkan,, tentu
karena dengan begini aku sulit membedakan mana kawan dan mana lawanku. Semuanya akan bersikap baik padaku supaya aku mau membantu mereka saat ujian akhir.
Beberapa bulan ini aku hanya dekat dengan beberapa
teman wanita saja, guru memerintahkan setiap murid untuk masuk minimal satu
organisasi di sekolah.
Dengan kepribadianku, olahraga jelas aku tidak minat. Paskibra, tidak menerima
tinggi badan minimalis sepertiku. Tidak bisa kelelahan dan daya tahan lemah
juga memaksaku untuk menjauhi pramuka dan teknik beladiri. Tidak ada pilihan
lain selain osis. Yang kubutuhkan hanya organisasi yang tidak terlalu
memerlukan tenaga.
Pulang sekolah kami dikumpulkan disebuah ruangan
kelas kosong. Calon anggota osis baru harus memperkenalkan diri kepada
seniornya sebelum melakukan rangkaian kegiatan penerimaan. Dan tentu saja akan ada
perpeloncoan yang kuanggap sebagai tradisi memuakkan yang harus juga kuikuti, dimana kita harus melakukan hal diluar batas wajar, memakai atribut layaknya orang gila, bahkan setelah itu semua kita juga harus patuh pada semua perintah senior.
Kepribadianku sangat buruk
dalam bersosialisasi tapi, entah kenapa lebih banyak orang mengenalku sebagai sosok yang
hangat dan ramah.
Baik saat perkenalan, maupun saat eksekusi
melelahkan dari senior berlangsung. Ada wajah yang kukenal juga menjadi salah
satu pesertanya. Ia yang beberapa bulan ini tidak pernah kusapa dan tidak
pernah menyapaku. Tapi situasi mengharuskan kami bersaing baik di kelas maupun
di osis. Dia adalah orang yang cukup antusias dalam akademi dan organisasi. Dia
menganggapku sebagai saingan terberatnya. Juga lawan kuatnya saat pemilihan
ketua osis. Itu cukup membuatku tertawa geli melihatnya sibuk belajar dan
mencuri dengar pendapat para guru tentangku. Dialah Denis.
Awal semester baru adalah hal yang paling tidak
terduga untukku. Suatu ketika saat istirahat aku sedang menulis beberapa
catatan dikelas. Seseorang meletakan buku pelajaran matematika di hadapanku
dengan catatan kecil di dalamnya.
“Beritahu bagaimana cara menyelesaikan soal ini!”
tulisnya dalam kertas itu.
Tulisan asing yang sangat rapih jauh dengan
tulisanku yang acak-acakkan.
Aku melihat sekeliling. Karena ini jam istirahat, jadi
aku rasa keempat teman dekatku berada di kantin. Pandanganku terhenti pada
seseorang yang duduk di sisi lain dalam ruangan tempatku berada. Dia.
“Tidak mungkin dia” batinku.
Tapi, memang langkah kaki yang tadi kudengar, menjauh kearah tempatnya
duduk saat ini. Ia membuka catatannya dan seperti hendak menulis sesuatu, aku
mencoba memastikan, dan karena masih penasaran, tak sengaja melihat nama dari catatan kecil itu. Denis. Tak kusangka dia meminta bantuanku yang ia anggap saingannya. Tidak masuk akal.
Aku mengambil catatan soal yang sudah kuselesaikan
dan meletakkannya diatas mejanya.
“Jawaban dan caranya ada disana” gumamku pelan.
“Jelaskan” jawabnya.
“apa?” kataku yang tidak tahu apa maunya.
“aku sudah tahu jawabannya tapi dengan cara yang
guru berikan sedangkan, kamu mengerjakannya sesuai konsepmu sendiri ajari aku. Duduklah”
katanya sambil melihat kearahku.
Sontak aku menunduk tak mau matanya bertemu mataku
yang mungkin sedang berbinar saat ini. Aku duduk di depannya, menjelaskan
secara detil bagaimana aku menyelesaikan soal itu. Kadang sambil menoleh kearah lain karena
terasa sesak hanya berdua dengannya di ruang kelas yang besar ini. Kadang aku
melihat dia mengangguk mengerti dengan ucapanku. Lagi dan lagi aku hanya
tersenyum kecil.
Setelah selesai ia pamit pergi.
“Jangan sombong dulu, kamu tetap
sainganku ! wee” katanya sambil sedikit mencoret buku tulisku iseng. What? apa itu tadi sikap darinya.
“Kau tidak akan bisa menjatuhkanku !” jawabku
sedikit kesal.
Dia berhenti di depan pintu keluar dan berpikir.
“Kalau begitu kita lihat siapa nilai tertinggi di
akhir semester yang kalah harus menuruti keinginan yang menang. Setuju?” katanya
dengan nada menantang.
“oke ! siapa takut !” jawabku ketus.
Sejak hari itu, setiap hari kami bertegur sapa tapi,
kadang saling mengejek dan menyombongkan satu sama lain. Tapi, kami semakin
dekat sebagai teman. Dia bahkan memberitahuku siapa gadis yang ia sukai di
kelas kami dan berencana akan mengajaknya berkencan. Aku mendukungnya dan
berpura-pura senang bahkan meledeknya kalau dia bakal ditolak. Tapi setelah itu
aku marah-marah sendiri. Rupanya gadis itu menolaknya dan itu membuatku senang.
Sebulan sebelum ujian akhir semester aku mendengar
kabar yang tidak mengenakan hati. Kudengar dari temanku bahwa dia sudah
menjalin hubungan dengan gadis dari kelas lain. Pantas saja akhir-akhir ini dia
tidak sering usil padaku. Aku yang tidak suka dengan kabar ini, memutuskan untuk
mengirimnya surat yang kuselipkan di buku pelajarannya sama seperti yang ia
lakukan tempo hari.
“Aku tidak tahu kenapa aku tidak suka mendengarmu
pacaran dengan gadis itu. Aku tidak tahu kenapa aku tidak keberatan jika kita
harus terus bersaing dalam hal hal apapun. Tapi sekarang kurasa aku tahu
jawabannya. Aku suka kamu.” Tulisku singkat.
Aku menitipkan buku itu kepada seorang teman. Tapi beberapa
hari kemudian, dia tidak merespon suratku malah dia semakin menjauh. Hingga
suatu hari aku tidak masuk sekolah karena sakit. Seseorang datang kerumah dan
memintaku untuk datang kesebuah tempat. Disana aku mendapat pemandangan yang
membuatku membencinya satu dekade.
To be continue.......
kalo banyak yang mau tahu kelanjutannya baru aku lanjutin... hehehe
Komentar
Posting Komentar